Sesungguhnya, tidak seorang pun tahu kapan persisnya Yesus dari Nazaret dilahirkan ke
dalam dunia ini. Tidak ada suatu Akta Kelahiran zaman kuno yang
menyatakan dan membuktikan kapan dia dilahirkan. Tidak ada seorang saksi
hidup yang bisa ditanyai.
Berlainan dari tuturan kisah-kisah kelahiran Yesus yang dapat dibaca
dalam pasal-pasal permulaan Injil Matius dan Injil Lukas, sebetulnya
pada waktu Yesus dilahirkan, bukan di Betlehem, tetapi di Nazaret, tidak
banyak orang menaruh perhatian pada peristiwa ini. Paling banyak, ya
selain ayah dan ibunya, beberapa tetangganya juga ikut sedikit
disibukkan oleh kelahirannya ini, di sebuah kampung kecil di provinsi
Galilea, kampung Nazaret yang tidak penting.
Baru ketika Yesus sesudah kematiannya diangkat menjadi sang Mesias
Kristen agung oleh gereja perdana, atau sudah dipuja dan disembah
sebagai sang Anak Allah, Raja Yahudi, dan Juruselamat, disusunlah
kisah-kisah kelahirannya sebagai kelahiran seorang besar yang luar
biasa, seperti kita dapat baca dalam pasal-pasal awal Injil Matius dan
Injil Lukas (keduanya ditulis sekitar tahun 80-85 M). Penulis Injil
Kristen tertua intrakanonik, yakni Injil Markus (ditulis tahun 70 M),
sama sekali tidak memandang penting untuk menyusun sebuah kisah
kelahiran Yesus.
Dalam tuturan penulis Injil Lukas, kelahiran Yesus diwartakan sebagai kelahiran seorang tokoh Yahudi yang menjadi pesaing Kaisar Agustus, yang sama ilahi dan sama berkuasanya, yang kelahiran keduanya ke dalam dunia merupakan “kabar baik” (euaggelion) untuk seluruh bangsa karena keduanya adalah “Juruselamat” (sōtēr) dunia (bdk Lukas 2:10,11 dan prasasti dekrit Majelis Provinsi Asia tentang
Kaisar Agustus yang dikeluarkan tahun 9 M). Dalam tuturan penulis Injil
Matius, kanak-kanak Yesus yang telah dilahirkan, yang diberitakan
sebagai kelahiran seorang Raja Yahudi, telah menimbulkan kepanikan pada
Raja Herodes Agung yang mendorongnya untuk memerintahkan pembunuhan
semua anak di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah (Matius 2:2, 3, 16).
Dalam kisah-kisah kelahiran Yesus dalam kedua injil inipun, bahkan dalam
seluruh Perjanjian Baru, tidak ada suatu catatan historis apapun yang
menyatakan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Jika
demikian, bagaimana tanggal 25 Desember bisa ditetapkan sebagai hari kelahiran Yesus, hari Natal? Dalam kebudayaan kuno Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan hari kelahiran Yesus
Cara Pertama
Seperti dicatat dalam dokumen Yahudi Rosh Hashana (dari abad
kedua), sudah merupakan suatu kelaziman di kalangan Yahudi kuno untuk
menyamakan hari kematian dan hari kelahiran bapak-bapak leluhur Israel.
Dengan sedikit dimodifikasi, praktek semacam ini diikuti oleh
orang-orang Kristen perdana ketika mereka mau menetapkan kapan Yesus
Kristus dilahirkan. Sebetulnya, praktek semacam ini berlaku hampir
universal dalam orang menetapkan hari kelahiran tokoh-tokoh besar dunia
yang berasal dari zaman kuno. Dalam kepercayaan para penganut Buddhisme,
misalnya, hari kelahiran, hari pencapaian pencerahan (samma sambuddha) dan hari kematian (parinibbana)
Siddharta Gautama sang Buddha dipandang dan ditetapkan (pada tahun 1950
di Sri Langka) terjadi pada hari yang sama, yakni Hari Waisak atau Hari
Trisuci Waisak.
Kalau kapan persisnya hari kelahiran Yesus tidak diketahui siapapun, hari kematiannya bisa ditentukan dengan cukup pasti, yakni 14 Nisan dalam penanggalan Yahudi kuno, dan ini berarti 25 Maret dalam kalender Gregorian.
Sejumlah bapak gereja, seperti Klemen dari Aleksandria, Lactantius,
Tertullianus, Hippolytus, dan juga sebuah catatan dalam dokumen Acta Pilatus, menyatakan bahwa hari kematian Yesus jatuh pada tanggal 25 Maret. Demikian juga, Sextus Julianus Afrikanus (dalam karyanya Khronografai,
terbit tahun 221), dan Santo Agustinus (menulis antara tahun 399 sampai
419), menetapkan 25 Maret sebagai hari kematian Yesus. Dengan demikian,
hari pembenihan janin Yesus dalam rahim Maria juga jatuh juga pada 25
Maret.
Kalau 9 bulan ditambahkan pada hari konsepsi Yesus ini, maka hari
kelahiran Yesus adalah 25 Desember. Sebuah traktat yang mendaftarkan
perayaan-perayaan besar keagamaan, yang ditulis di Afrika dalam bahasa
Latin pada tahun 243, berjudul De Pascha Computus, menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Hippolytus, dalam Tafsiran atas Daniel 4:23 (ditulis
sekitar tahun 202), menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran
Yesus. Sebuah karya yang ditulis dengan tangan, dalam bahasa Latin,
pada tahun 354 di kota Roma, yang berjudulKhronografi, juga menyebut 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus.
Meskipun banyak dokumen dari abad ketiga sampai abad keempat menyebut
tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, tidak semua
orang pada waktu itu menyetujui adanya perayaan hari Natal. Origenes,
teolog Kristen dari Aleksandria, misalnya, dalam karyanya Homili atas Kitab Imamat,
menyatakan bahwa “hanya orang-orang berdosa seperti Firaun dan Raja
Herodes yang merayakan hari ulang tahun mereka.” Begitu juga, seorang
penulis Kristen bernama Arnobus pada tahun 303 memperolok gagasan untuk
merayakan hari kelahiran dewa-dewi.
Pada sisi lain, kalangan Montanus menolak kalau kematian Yesus jatuh
pada 25 Maret; bagi mereka Yesus wafat pada 6 April. Dengan demikian 6
April juga hari konsepsi Yesus dalam kandungan Maria, ibunya. Kalau
setelah 6 April ditambahkan 9 bulan, maka hari kelahiran Yesus jatuh
pada 6 Januari. Di kalangan Gereja Timur (yang berbahasa Yunani),
berbeda dari Gereja Barat (yang berbahasa Latin), hari Natal tidak dirayakan pada 25 Desember, tetapi pada 6 Januari.
Cara Kedua
Sebelum kekristenan lahir dan tersebar di seantero kekaisaran Romawi dan
kemudian dijadikan satu-satunya agama resmi (religio licita) kekaisaran
melalui dekrit Kaisar Theodosius pada tahun 381, orang Romawi melakukan
penyembahan kepada Matahari (= heliolatri).
Dalam heliolatri ini, Dewa Matahari atau Sol menempati
kedudukan tertinggi dan ke dalam diri Dewa Sol ini terserap dewa-dewa
lainnya yang juga disembah oleh banyak penduduk kekaisaran, antara lain
Dewa Apollo (dewa terang), Dewa Elah-Gabal (dewa matahari Syria) dan
Dewa Mithras (dewa perang bangsa Persia).
Heliolatri, yakni pemujaan dan penyembahan kepada Dewa Sol sebagai Dewa
Tertinggi, menjadi sebuah payung politik-keagamaan untuk mempersatukan
seluruh kawasan kekaisaran Romawi yang sangat luas, dengan penduduk
besar yang menganut berbagai macam agama dan mempercayai banyak dewa.
Pada tahun 274 oleh Kaisar Aurelianus Dewa Sol ditetapkan
secara resmi sebagai Pelindung Ilahi satu-satunya atas seluruh
kekaisaran dan atas diri sang Kaisar sendiri dan sebagai Kepala Panteon
Negara Roma. Menyembah Dewa Sol sebagai pusat keilahian berarti
menyentralisasi kekuasaan politik pada diri sang Kaisar Romawi yang
dipandang dan dipuja sebagai titisan atau personifikasi Dewa Sol
sendiri.
Dalam heliolatri ini tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai hari perayaan religius utama untuk memuja Dewa Sol,
hari perayaan yang harus dirayakan di seluruh kekaisaran Romawi. Pada
saat winter solstice, saat musim dingin ketika matahari (Latin: sol)
tampak “diam tak bergeming” (Latin: sistere) di titik terendah di kaki
langit Eropa sejak tanggal 21 Desember, pada tanggal 25 Desember
matahari mulai sedikit terangkat dari kaki langit dan mulai sedikit demi
sedikit beranjak naik ke atas, seolah sang Sol ini hidup atau lahir
kembali. Peristiwa astronomikal ini ditafsir secara religius sebagai
saat Dewa Sol tak terkalahkan, bangkit dari kematian, yang dalam bahasa
Latinnya disebut sebagai Sol Invictus (=Matahari Tak
Terkalahkan). Dengan demikian, tanggal 25 Desember dijadikan sebagai
Hari Kelahiran Dewa Sol Yang Tak Terkalahkan, Dies Natalis Solis Invicti.
Karena Kaisar dipercaya sebagai suatu personifikasi Dewa Sol, maka sang
Kaisar Romawi pun menjadi Sang Kaisar atau Sang Penguasa Tak
Terkalahkan, Invicto Imperatori, seperti diklaim antara lain olehKaisar Septemius Severus yang wafat pada tahun 211.
Nah, ketika kekristenan disebarkan ke seluruh kekaisaran Romawi, para
pemberita injil dan penulis Kristen, sebagai suatu taktik misiologis
mereka, mengambil alih gelar Sol Invictus dan mengenakan gelar ini
kepada Yesus Kristus sehingga Yesus Kristus menjadi Matahari Tak
Terkalahkan yang sebenarnya. Mereka memakai teks-teks Mazmur 19:5c-6
(“Ia memasang kemah di langit untuk Matahari yang keluar bagaikan
Pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan
yang hendak melakukan perjalanannya.”), Maleakhi 4:2 (“… bagimu akan
terbit Surya Kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.”) dan Lukas
1:78-19 (“Oleh rakhmat dan belas kasihan Allah kita, dengan mana Ia akan
melawat kita, Surya Pagi dari tempat yang tinggi.”) sebagai landasan
skriptural untuk menjadikan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang
sebenarnya.
Dengan jadinya Yesus Kristus sebagai Sol Invictus baru, maka tanggal 25 Desember sebagai hari natal Dewa Sol juga dijadikan hari Natal Yesus Kristus.
Seorang penulis Kristen perdana, Cyprianus, menyatakan, “Oh, betapa
ajaibnya: Allah Sang Penjaga, Pemelihara dan Penyelenggara telah
menjadikan Hari Kelahiran Matahari sebagai hari di mana Yesus Kristus
harus dilahirkan.” Demikian juga, Yohanes Krisostomus, dalam khotbahnya
di Antikohia pada 20 Desember 386 (atau 388), menyatakan, “Mereka
menyebutnya sebagai ‘hari natal Dia Yang Tak Terkalahkan’. Siapakah yang
sesungguhnya tidak terkalahkan, selain Tuhan kita…?”
Selanjutnya, mulai dari Kaisar Konstantinus yang (menurut sebuah
mitologi Romawi) pada 28 Oktober 312 melihat sebuah tanda salib dan
sebuah kalimat In Hoc Signo Vinces (=“Dengan tanda ini, kamu menang”) di
awan-awan, perayaan keagamaan yang memuja Sol Invictus pada 25 Desember
diubah menjadi perayaan keagamaan untuk merayakan hari Natal Yesus
Kristus. Dengan digantinya Dewa Sol dengan Yesus Kristus sebagai Sol
Invictus yang sejati, dan tanggal 25 Desember sebagai hari Natal Yesus
Kristus, sang Kaisar berhasil mengonsolidasi dan mempersatukan seluruh
wilayah negara Roma yang di dalamnya warga yang terbesar jumlahnya
adalah orang Kristen, yang, menurut Eusebius, adalah warga “Gereja
Katolik yang sah dan paling kudus” (Eusebius, Historia Ecclesiastica 10.6).
Dan sejak itu juga, para uskup/paus sama-sama mengendalikan seluruh
kekaisaran Roma di samping sang Kaisar sendiri; ini melahirkan apa yang
disebut Kaisaropapisme. Kalau sebelumnya heliolatri menempatkan Dewa Sol
sebagai Kepala Panteon yang menguasai seluruh dewa-dewi yang disembah
dalam seluruh negara Romawi dan sebagai pusat kekuasaan politik, maka
ketika Yesus Kristus sudah menjadi Sol Invictus pengganti, sang Kristus
inipun mulai digambarkan sebagai sang Penguasa segalanya (=Pantokrator),
yang telah menjadi sang Pemenang (=Kristus Viktor) di dalam seluruh
kekaisaran Romawi.
Penutup
Jelas sudah, tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus yang sebenarnya.
Seperti telah dinyatakan pada awal tulisan ini, kembali perlu
ditekankan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia pada zaman
kuno dan pada masa kini mengetahui kapan persisnya Yesus dari Nazaret
dilahirkan. Ketika Yesus baru dilahirkan, dia bukanlah seorang penting
apapun. Hanya beberapa orang saja yang memedulikannya. Hanya ketika dia
sudah diangkat menjadi sang Kristus gereja dan dipercaya sebagai sang
Juruselamat dunia, dia baru menjadi penting dan kisah-kisah hebat tentang kelahirannya pun disusun. [ioanesrakhmat]