Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya seluruhnya. Wa ba’du:
Apa yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
yaitu menafikan atau meniadakan empat hal, maksudnya orang yang
mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dikatakan memegang Laa ilaaha
illallaah dan dikatakan muslim-mukmin adalah apabila dia meninggalkan
atau menjauhi, atau berlepas diri dari empat hal, yaitu:
1. Alihah (Sembahan-sembahan)
2. Arbab (tuhan-tuhan pengatur)
3. Andad (tandingan-tandingan)
4. Thaghut
Jadi
Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi,
meninggalkan empat hal tadi dan kita akan membahas satu demi satu dari
keempat hal tersebut.
1. Alihah
Alihah adalah jamak daripada ilah, yang artinya tuhan. Jadi Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya: tidak ada ilah, tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilah.
Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan
pada zaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati
selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Kalau kita memahami makna ilah,
maka kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau
masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah.
Ilah, definisinya adalah: Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana).
Kalimat “dengan sesuatu hal” adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan.
Contoh 1:
Batu
besar (ini adalah sesuatu), lalu orang datang menuju ke batu besar
tersebut dengan sesajen, bisa berbentuk cerutu, kopi pahit, “rurujakan”
(sebutan salah satu bentuk sesajian dalam masyarakat suku Sunda,
ed.), bekakak ayam atau apa saja. Batu ini adalah sesuatu yang dituju
oleh orang tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian, cerutu, dll) dan
pemberian sesajen ini pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin
seseorang menyimpan sesajen-sesajen pada batu besar tersebut dengan
tujuan agar dimakan semut, tidak… tentu bukan itu maksudnya, akan
tetapi maksudnya adalah sebagai bentuk mencari manfaat atau tolak bala.
Misalnya minta dijauhkan dari bala (bencana), karena menurut
keyakinannya bahwa pada batu besar itu ada yang penunggunya.
Ketika
orang tadi melakukan ‘tindakan’ pemberian sesajen pada batu besar itu
dengan persembahan-persembahan tadi dalam rangka tolak bala atau minta
manfaat, berarti batu besar ini adalah ilah yang dipertuhankan
selain Allah, sehingga pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya adalah
tidak benar… bohong!, dengan kata lain orang tersebut belum muslim,
meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji, dan lainnya.
Contoh 2:
Pohon
besar, dituju oleh seseorang atau masyarakat dengan sesuatu hal tadi
(sesajen-sesajen). Pasti ada maksudnya, kalau bukan tolak bala berarti
meminta manfaat.
Berarti
pohon besar itu dipertuhankan selain Allah dengan kata lain bahwa
orang yang melakukannya itu telah melanggar Laa ilaaha illallaah atau
bermakna dia belum muslim, karena seharusnya dia meninggalkan hal itu.
Contoh 3:
Nyi
Roro Kidul… biasanya orang pantai selatan, mereka datang ke pantai
‘menuju’ Nyi Roro Kidul dengan suatu hal seperti “Pesta Laut”, dengan
cara melemparkan makanan-makanan ke laut sebagai persembahan kepada Nyi
Roro Kidul, kata mereka ada maksudnya… Apakah itu? Yaitu tolak bala
atau cari manfaat, di antaranya mereka ingin mendapat keselamatan jika
sedang melaut, tidak diterpa badai atau kecelakaan lainnya, sekaligus
diberi tangkapan ikan yang melimpah.
Maka dalam kasus ini berarti Nyi Roro Kidul itu adalah ilah,
yang telah dipertuhankan selain Allah. Mereka yang melakukan pesta
laut itu adalah orang-orang musyrik! bukan orang-orang muslim.
Contoh 4:
Sebagian
masyarakat ada yang berkeyakinan bahwa Dewi Sri itu adalah Dewi Padi.
Petani datang ke sawah dengan membawa kelapa muda atau rurujakan atau terkadang Nasi Tumpeng, lalu disimpan di pematang sawah. Buat siapa…? Kata mereka buat Dewi Sri.
Dewi
Sri adalah sesuatu yang dituju oleh petani tersebut dengan suatu hal
tadi (sesajen). Apa maksudnya…? Kalau bukan tolak bala berarti meminta
manfaat agar panennya berhasil atau supaya tidak ada hama, dst. Berarti
Dewi Sri ini telah dipertuhankan selain Allah, dan berarti orang-orang
tersebut telah melanggar Laa ilaaha illallaah, dengan kata lain belum
muslim.
Contoh 5:
Orang
mau membuat rumah, di mana kata masyarakat bahwa di daerah yang akan
dibangun rumah itu terdapat jin penunggunya. Ketika membuat rumah, maka
orang tersebut menuju sesuatu itu (jin) dengan sesuatu hal berupa
tumbal (seperti: memotong ayam lalu dikubur sebelum dibuat pondasi
rumah) agar tidak diganggu oleh jin tersebut.
Berarti
jin ini adalah sesuatu yang dituju oleh pemilik rumah dengan sesuatu
(yaitu tumbal) dalam rangka tolak bala. Berarti jin ini telah
dipertuhankan, dan orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang
musyrik…! Bukan muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan
yang lainnya.
Contoh 6:
Kuburan,
baik itu kuburan Nabi atau kuburan wali atau kuburan siapa saja. Orang
menamakan kuburan tersebut adalah kuburan keramat sehingga orang
datang ke kuburan tersebut.
Kuburan
adalah sesuatu, kemudian dituju oleh orang tersebut dengan sesuatu.
Ada yang minta jodoh kepada penghuni kubur tersebut, bahkan ada yang
minta do’anya (sedangkan meminta do’a kepada yang sudah meninggal
adalah tidak dibolehkan), berarti kuburan ini adalah sesatu yang dituju
oleh orang tadi dalam rangka meminta manfaat, minta jodoh, minta
rizqi, atau minta do’a, ada juga yang minta agar dijauhkan dari bala.
Berarti kuburan tersebut telah dipertuhankan, telah dijadikan sekutu
Allah, dan para pelakunya adalah orang-orang musyrik…
Mereka
beralasan bahwa kami ini adalah orang kotor, sedangkan wali ini adalah
orang suci, bersih, dan dekat dengan Allah, sedangkan Allah itu Maha
Suci, jika orang kotor seperti kami ini minta langsung kepada Allah
maka kami malu, sebagaimana kalau minta suatu kebutuhan pada penguasa
kita tidak langsung datang kepada penguasa tersebut, akan tetapi
melalui orang dekatnya… jadi dia menyamakan Allah dengan makhluk.
Perbuatan tersebut adalah penyekutuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
berarti orangnya adalah orang musyrik dan orang tersebut telah
mempertuhankan selain Allah, walaupun dia tidak mengatakan bahwa
dirinya telah mempertuhankan selain Allah.
Walaupun batu besar, pohon besar, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat perbuatan
mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka orang-orang yang
melakukan hal itu adalah bukan orang-orang muslim. Dan kalau kita
hubungkan dengan realita, ternyata yang melakukan hal itu umumnya adalah
orang yang mengaku muslim. Mereka itu sebenarnya bukan muslim tapi masih musyrik.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasaan
mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada
Latta ~yang dahulunya orang shalih~ untuk menyampaikan permohonan
mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen
dengan Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah”
(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan
diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As Shaaffaat [37]: 35-36)
Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
digelari “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebutnya “Al
Amin” (yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa
apabila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah
meninggalkan ilah-ilah tadi (batu-batu keramat,
pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dst), sedangkan mereka itu tidak
mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Juga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada mereka… beliau mengatakan: “Maukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukan orang-orang Arab dan ‘Ajam?”, Abu Jahl mengatakan: “Senang sekali, saya akan memberikannya… bahkan 10x lipat dari kalimat yang kamu minta itu”, kemudian Rasulullah mengatakan: “Katakan; Laa ilaaha illallaah”. Lalu mereka bangkit dan pergi sambil mengatakan: “Apakah kami harus menjadikan ilah-ilah itu hanya menjadi satu saja?, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan!!” [sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim]
Mereka (kaum musyrik Quraisy) adalah orang Arab asli, mereka sangat paham
kandungan Laa ilaaha illallaah, dan mereka tak perlu diajari artinya,
tidak seperti kita. Mereka paham bahwa di antara maknanya adalah
sesungguhnya mereka harus meninggalkan alihah selain Allah,
sehingga karena hal itulah mereka menolak. Jadi, mereka enggan
meninggalkannya, berbeda dengan orang sekarang ; mengucapkan mau…
bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan kandungan Laa ilaaha illallaah.
Ini adalah yang pertama, alihah: sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat. Mudah-mudahan yang pertama ini jelas…
2. Arbab
Laa
ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan arbab, berlepas diri
dari arbab. Apakah arbab…?? Ia adalah bentuk jamak dari Rabb, yang
artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata
“atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang.
Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum.
Kita
sebagai makhluq Allah, Dia telah memberikan sarana kehidupan kepada
kita, maka konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah adalah
beriman bahwa yang berhak menentukan aturan… hanyalah Allah. Jadi Allah
disebut Rabbul ‘aalamiin karena Allah yang mengatur alam ini baik
secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy
(syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa
dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.
Apakah rabb itu…? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika
orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dia
disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia
mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan
dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam,
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis:
1. Orang-orang Nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka musyrik
5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai arbab… sebagai Tuhan
Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim
(asalnya beliau ini Nashrani), sedang beliau datang kepada Rasul dalam
keadaan masih Nashrani. Ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis
di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: “Kami (maksudnya: dia
dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama
kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami
musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah…” dst. Jadi yang ada
dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah
shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak
mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan,
mereka heran… sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana
bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama? Maka
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah
alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah
haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? bukankan mereka
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga
mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”.
Jadi,
ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim
memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang),
maka dia mengklaim bahwa dirinya sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan
orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat
itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan,
yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha
illallaah lagi musyrik…!
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Ayat
ini berkenaan dengan masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa
bangkai adalah haram. Dalam ajaran orang-orang kafir Quraisy bangkai
adalah sembelihan Allah, dan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, beliau berkata: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata: “Kambing
yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang
disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas
(maksudnya bangkai), kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian
lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ucapan
ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah:
“Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan
mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah), maka kalian
ini orang-orang musyrik”.
Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu
hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang yang membuat
hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu
syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali
syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum
tersebut disebut sebagai orang musyrik…!
Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah:
“…Menentukan
hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu
tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak
menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan,
undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak
menyandarkan hukum kecuali kepada Allah.
Dalam
ayat ini penyandaran hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada
Allah berarti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada
selain Allah berarti ibadah kepada selain Allah, itulah dien yang
lurus… ajaran yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia tidak
mengetahui.
Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di
Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya
memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik
dan orangnya disebut musyrik.
Maka
dari itu tidaklah aneh, ketika hal itu dipalingkan kepada alim ulama
dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada selain Allah, mempertuhankan
alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja orang yang mengikutinya itu
disebut musyrik.
“…dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Sekarang…
kita hubungkan dengan realita: Bukankah kita mengenal sistem
demokrasi?! Orang yang ‘berpendidikan’ pasti mengetahui apa makna
demokrasi, yaitu pemegang kekuasaan adalah rakyat atau
sering pula disebut: dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi,
dalam demokrasi pihak yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu
adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib diikuti.
Sistem
demokrasi mulai populer ketika Revolusi Prancis, (walau ide-ide
dasarnya sudah muncul jauh sebelum itu, ed). Hal ini terjadi agar
terlepas dari kungkungan gereja yang mengekang mereka karena kekuasaan
kaisar-kaisar pada saat itu, dengan kezhaliman, kediktatoran, dan sikap
otoriter yang mereka lakukan di atas nama tafwidl ilahiy
(atas nama kewenangan Tuhan) maka terjadilah revolusi yang ingin
melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada rakyat yang
mana demokrasi ini dibangun di atas beberapa pilar:
1. Kebebasan keyakinan, dengan nama lain kebebasan meyakini apa saja.
2. Kebebasan mengeluarkan pendapat
3. Hukum berada di tangan rakyat
4. Melepaskan norma akhlaq dari agama
Dalam
masalah ini kita secara khusus mengambil masalah “hukum berada di
tangan rakyat”, di mana yang berhak memutuskan hukum
aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat, yang mana dalam
sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab).
Mari
kita perhatikan bahwa dalam praktek demokrasi, yang berhak memutuskan
hukum itu adalah rakyat, setiap individiu-individu rakyat memiliki
kewenangan mambuat hukum, dengan kata lain bahwa rakyat itu memiliki
sifat ketuhanan yaitu pembuat hukum, akan tetapi kalau rakyat yang
berjumlahnya berjuta-juta ini berkumpul semuanya adalah tidak mungkin,
maka diwakilkan hak ketuhanannya itu lewat pemilu dan ketika “nyoblos”
itu pada dasarnya mewakilkan hak ketuhanannya kepada wakilnya yang
nantinya akan dipajang di gedung Parlemen. Sehingga nantinya akan membuat hukum atas nama rakyat.
Hal ini bisa dilihat pada saat sidang-sidang thaghut itu di mana
mereka mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan
rakyat…penyalur aspirasi rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini yang berwenang atau menentukan hukum dan undang-undang adalah rakyat.
Jika
dalam surat Al An’am 121 di saat satu hukum saja dipalingkan kepada
selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya di sebut wali syaithan
(arbab). Maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana
bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari
Allah kepada makhluk (rakyat)…?? Maka dari itu dalam Undang Undang
Dasar dalam Bab 1 (1) ayat 2 dikatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat”.
Jika dahulu sebelum diamandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sekarang adalah dilaksanakan menurut
Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan atau hak hukum itu berada di
tangan rakyat, atau dengan kata lain bahwa demokrasi itu merampas sifat
ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada rakyat yang nantinya akan
terwujud dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung Parlemen (MPR/DPR
atau yang lainnya).
Jika
sekarang kita ingin mengetahui siapa arbab-arbab… para pengaku tuhan
di NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia) ini, maka tinggal membaca
kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya akan didapatkan: Bahwa
setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan
Undang Undang (RUU) atau akan didapatkan juga pasal: Bahwa Presiden
berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang… dst. Juga yang berkaitan
dengan otonomi daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan
setempat diberikan kewenangan membuat Undang-Undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah”. Itu semua adalah arbab-arbab yang ada di
Indonesia… Sekali lagi, jika ingin mengetahui siapa arbab atau para
pengaku tuhan maka pahamilah Tauhid lalu baca Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan.
Jadi demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi…
syari’at syirik walaupun ~umpamanya~ sanksi “potong tangan” bagi
pencuri muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan
hukum Allah akan tetapi hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari
Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang diakui dalam sistem demokrasi,
yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang
tertera, akan tetapi: Tap MPR no sekian… atau perpu no sekian… seperti
itulah yang ada.
Ketika
membuatnya: Mereka (partai-partai “Islam”) mengambil dari Al Qur’an
hukum tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al
Qur’an (dari Allah) kemudian disodorkan kepada ‘tuhan-tuhan’ yang ada
di gedung MPR/DPR… disodorkan kepada arbab-arbab itu, setelah itu akan
terjadi tarik ulur, jadi hukum Allah disodorkan kepada mereka, karena
yang namanya proposal itu muncul berawal dari ‘bawah’ lalu disodorkan
ke ‘atas’, dan ketika berada di atas (MPR/DPR) dibahas agar sampai pada
kata setuju atau tidak. Jika tidak setuju, maka jelaslah kekafirannya,
dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan
bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi
merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan arbab…!!!
dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman
Allah surat ini atau ayat sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya
Pemerintah, maka yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian,
jika MPR yang menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No
sekian, begitulah keadaannya…!!
Jadi
semua itu adalah hukum arbab. Arbabnya banyak… ada arbab dari PKS,
PBB, PPP, PKB, PAN, PDI, Golkar…dst, mereka itu adalah arbab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Hai
kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu
tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama
yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah
tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan
itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12]: 39-40)
Ayat “Tuhan-tuhan yang bermacam itu…”
maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka
ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah,
komisi-komisi, dll… dan ayat “yang kalian ibadati” maksudnya adalah mengikuti hukum. “nama-nama yang kalian ciptakan”
maksudnya adalah seperti apa yang diibadati oleh para anshar thaghut
zaman sekarang berupa Undang Undang Dasar, mereka menciptakannya dan
mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka yang membuatnya. KUHP
juga mereka yang membuatnya… semua itu adalah nama-nama yang mereka
ciptakan sendiri, kitab hukum yang lainnya mereka pula yang membuatnya
sendiri lalu mereka juga yang mengibadatinya (mengikutinya).
Jadi, membuat hukum itu adalah sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Arbab-arbab itu adalah pengaku tuhan.
Supaya
lebih dipahami, saya gambarkan… mungkin kita sering mendengar orang
memperolok-olokkan Arab Quraisy ketika membuat tuhan dari roti yang
terbuat dari adonan yang kemudian diibadati, dan ketika lapar maka
tuhan-tuhan itu dimakan, mereka yang memperolok-olok itu mengatakan
“Oh… bodoh sekali orang-orang Arab itu, Jahiliyyah banget gitu lo!!”,
padahal semua itu justeru adalah realita yang nyata zaman sekarang.
Jika kita sudah paham bahwa arbab (mereka para pengaku tuhan) adalah
tuhan jadi-jadian dan hukum yang diibadati itu juga tuhan (tuhan yang
diibadati bukan dengan shalat atau do’a, tapi dengan taat, patuh, dan
loyalitas), maka kita akan mendengar bahasa mereka “menggodok
undang-undang”, seperti fraksi anu… menggodok undang-undang buruh
(umpamanya) fraksi lain tentang perbankan, fraksi yang lain tentang
pendidikan, fraksi yang lain tentang keamanan…! Mereka menggodok seperti membuat adonan, tapi mereka menggodok undang-undang dan hukum, bukan adonan roti. Fraksi
ini membuat bagian tangannya, fraksi itu membuat kepalanya, yang lain
membuat kakinya atau bagian yang lainnya sehingga setelah semuanya
digodok dan dicetak sampai menjadi sebuah berhala (seperti berhala dari
roti). Ketika hukum dan undang-undang selesai digodok, kemudian
digulirkan (menjadi sebuah berhala), maka akan dibuatkan TAP
MPR No sekian… atau Perpu No sekian… lalu disosialisasikan ke tengah
masyarakat atau kepada aparatur thaghut ini dan kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah seperti shalat atau sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk, dijadikan acuan hukum.
Kita juga melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh para aparat
thaghut, jelas bukan: “Sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian
atau sabda Rasulullah…”, akan tetapi mereka mengatakan: “Sesuai TAP
MPR No sekian, atau pasal sekian…!”. Setelah disosialisasikan dan
diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang
lainnya, kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka berhala yang sudah
jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya
dengan bahasa mereka “direvisi atau diamandemen” seperti layaknya tuhan
yang terbuat dari roti. Setelah itu kemudian dibuatkan lagi
yang baru… digodok lagi… dicetak lagi… sehingga menjadi sebuah berhala
baru lagi (hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah lagi, dan
ketika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah untuk
merubah (misalnya karena ada kepentingan politik partai, ed.), maka
berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh
mereka, begitu dan begitu seterusnya…!!!
Jadi,
berhalaisme atau paganisme itu selalu terjadi bahkan lebih dahsyat dan
lebih berbahaya, karena apabila menyembah berhala yang berbentuk
patung tidak akan ada yang memaksa, akan tetapi kalau untuk mentaati
hukum thaghut, maka akan dipaksa dan diberi sanksi jika menolak.
Pada gambaran yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menurunkan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman, sebagai aturan bagi
orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagi tali Allah yang
diulurkan dari sisi-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang
memegangnya maka ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab
selain Al Qur’an (seperti: KUHP atau kitab hukum dan perundang-undangan
lainnya) adalah pada hakikatnya kitab syaitan yang merupakan tali
syaitan yang di ulurkan dari neraka, barangsiapa yang memegangnya atau
yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh syaitan ke dasar neraka.
Jadi,
“kitab-kitab suci” selain Al Qur’an pada dasarnya adalah wahyu syaitan
atau ucapan syaitan yang dihasilkan oleh para arbab (para pengaku
tuhan itu).
Fir’aun
mengatakan “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”, apakah ketika dia
mengucapkannya dia mengklaim pencipta langit dan bumi? atau bahwa
dialah yang menyediakan isi dan segala apa yang ada di atasnya??
Tidak…! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat mengetahui
bahwa sebelum Fir’aun telah ada manusia, bahkan masyarakatnya pun
mengetahui bahwa Fir’aun sendiri terlahir dari manusia. Akan tetapi
ketika dia mengucapkan “Aku adalah tuhan kalian tertinggi” maksudnya
adalah tuhan yang hukumnya harus kalian taati… yang mana tidak ada
hukum yang harus kalian ikuti kecuali hukum buatan saya!
Jadi
ketika Fir’aun mengatakan hal itu, bukanlah karena dia yang
menciptakan manusia atau yang bisa memberikan manfaat atau madharat
atau yang bisa memberi anak, tetapi “Sayalah pembuat hukum yang
hukumnya harus kalian ikuti…!”.
Apabila
telah paham apa yang diucapkan Fir’aun itu, berarti kita bisa melihat
banyak Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya
harus ditaati! mereka adalah Fara’inah.
Jadi
jika kita membaca tentang Fir’aun itu, jangan selalu mengidentikan
pada Fir’aun zaman Nabi Musa saja, karena sifat-sifat Fir’aun itu
banyak dan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang justeru mereka itu lebih
dahsyat lagi. Apabila Fir’aun zaman dulu membunuh anak laki-laki karena
takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia (sesuai dengan
mimpinya itu), sedangkan jika anak-anak kecil ~yang masih suci
fithrahnya~ dibunuh, maka insya Allah masuk surga, sedangkan Fir’aun
zaman sekarang… mereka membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan ideologi-ideologi kafir di sekolah-sekolah milik Fir’aun
sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang dimatikan, akan tetapi
fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila di waktu kecil fithrah
sudah rusak atau mati sampai dia dewasa lalu tidak bertaubat (tidak
kembali kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia
akan dijerumuskan ke dalam api neraka… dan ini adalah bahaya!!
Sedangkan apabila anak kecil yang mati jasadnya saja, sedang fithrahnya
tidak, maka dia masuk surga. Akan tetapi apabila mereka
(Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang) itu tidak mampu membunuh fithrahnya
sewaktu masa anak-anak, maka setelah dewasa barulah dibunuh jasadnya
atau dimasukkan ke penjara-penjara Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang.
Jadi…itulah Fir’aun yang mana dia mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi”
adalah bukan dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang
menyediakan berbagai sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi yang
dia maksudkan: “Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang hukumya harus kalian ikuti…!”
Bila semua ini kita pahami, maka kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Fir’aun.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya
setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang
menyelisihi apa yang Allah syari’atkan lewat lisan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir
lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]
Jadi,
kesimpulannya bahwa arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya
berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain arbab
adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang
mengikuti hukum buatan para arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan
peribadatan kepada arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a,
nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan
loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan
Harun, dia mengatakan:
“Dan
mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia
seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah
orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mukminun [23]: 47)
Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan,
oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada
Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan
para arbab, maka disebut orang yang beribadah kepada arbab tersebut
Ini adalah penjelasan tentang arbab yang mana ini adalah bagian ke dua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah.
3. Andad (Tandingan-tandingan)
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah
memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai
tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain
terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang andad ini:
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Andad itu apa…?
Andad
adalah sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam, atau sesuatu yang
memalingkan kamu dari Tauhid, baik itu anak, isteri, jabatan, harta,
atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang dari Tauhid
atau memalingkan seseorang dari Al Islam atau menjerumuskan seseorang
kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah
menjadi andad.
Jadi
sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam atau Tauhid baik itu anak,
isteri, suami, posisi jabatan, harta benda, dst, kalau hal tersebut
justeru mamalingkan seseorang dari tauhid, berarti sesuatu itu telah
dijadikan andad… tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Contoh:
Kita bisa melihat dalam realita yang ada di dalam kehidupan masyarakat… mereka berbondong-bondong menjadi abdi hukum buatan.
Kita mengetahui bahwa dalam sistem yang dipakai Pemerintahan ini
adalah sistem kafir, sistem syirik, yaitu sistem demokrasi.
Perundang-undangannya juga adalah perundang-undangan thaghut.
Undang-Undang Dasar atau undang-undang lainnya yang dibuat oleh manusia
adalah kafir. Orang-orangnya…baik itu pejabat Legislatif,
Eksekutif, Yudikatif, atau dari kalangan bala tentaranya seperti
aparat POLRI, TNI, atau para pejabatnya atau bahkan pegawai kecilnya
sekalipun (PNS) mereka tidak bisa memegang posisinya, kecuali mereka menyatakan ikrar atau janji setia,
kepada apa…?? Kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar dan kepada
sistem thaghut ini, sedangkan kesetiaan terhadap thaghut merupakan
kekafiran!
Kita mengetahui bahwa
yang mereka inginkan bukanlah menjadi kafir atau murtad, ~umpamanya~
orang mendaftarkan diri menjadi Polisi atau jadi Caleg (Calon
Legislatif) yang mana dia tidak bisa meraihnya kecuali kalau mereka
setia kepada sistem thaghut tersebut, sedangkan menyatakan ikrar atau
janji setia kepada sistem kafir merupakan kekafiran. Kita memahami
bahwa yang diinginkan oleh orang tersebut bukanlah ingin kafir atau
ingin murtad dan bukan sebagai kebencian kepada Islam… akan tetapi dia
menginginkan posisi, jabatan, gaji bulanan, dst. Nah…
keinginan-keinginan tersebut yang menyebabkan orang tersebut
meninggalkan Tauhid, dengan demikian keinginan tersebut atau posisi
jabatan atau gaji bulanan yang diinginkan tersebut telah menjadi andad.
Orang tersebut telah meninggalkan Tauhidnya karena ia menjadikan
hal-hal tersebut sebagai andad.
Ketika
seseorang mau menjadi pegawai di dinas thaghut, maka dia harus
bersumpah setia kepada sistem thaghut ini terlebih dahulu. Mungkin
ketika seseorang telah mengenal Tauhid dia pasti benci dengan sistem
ini, atau benci dengan undang-undang ini, benci dengan falsafah yang
syirik ini. Akan tetapi yang diinginkan bukan itu (bukan ingin kafir
atau menjadi suka pada sistemnya, ed), melainkan gaji bulanan atau
fasilitas-fasilitas. Dan dikarenakan harus setia kepada kekafiran
~sedang hal demikian itu adalah kekafiran~ maka perbuatan tersebut
telah menjadikan orang tersebut terjerumus ke dalam kekafiran, orang
tersebut telah menjadikan keinginan-keinginannya sebagai andad yang
memalingkannya dari Tauhid…!
Jadi
andad adalah sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid… dari
Islam, baik itu berupa jabatan, harta, atau keluarga. Umpamanya,
seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya, sedang si anak
tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada orang yang menyarankan kepada si
ayah tersebut agar si anak yang sakit itu dibawa ke dukun. Dikarenakan
saking sayangnya kepada si anak tersebut akhirnya si ayah datang ke
dukun dan mengikuti apa yang disarankan oleh si dukun tersebut. Maka
dengan demikian si anak tersebut telah memalingkan si ayah tadi dari
Tauhid, dan berarti si anak telah menjadi andad. Sedangkan Allah
berfirman:
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Ini semua adalah tentang andad, dan singkatnya adalah segala sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid dan Al Islam disebut andad.
4. Thaghut.
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:
“Sungguh
Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka
mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut…” (QS. An Nahl [16]: 36)
Perintah
kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran
semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama
diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status
seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah Ta’ala berfirman:
“Siapa
yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu
telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha
ilallaah)” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Bila
seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan
tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut, maka dia itu bukan muslim dan
amal ibadahnya tidak diterima.
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain
Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan
kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian
beriman kepada Allah saja…” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah
adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah,
itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaimana
firman-Nya Ta’ala:
“Berdo’alah
kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya
orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk
nereka Jahannam dalam keadaan hina” (QS. Al Mukmin [40]: 60)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam besabda: “Do’a itu adalah ibadah”
Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah di antara bentuk
pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini
bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali
yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali
tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.
Sembelihan adalah ibadah, bila dipalingkan kepada selain Allah maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah,
Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah
Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (QS. Al An’am [6]: 162-163)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”.
Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam
atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia
menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak
kufur terhadap thaghut.
Taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah
ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah
syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab
dahulu:
“Dan
mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah
ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai
dengan persangkaan mereka: “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala
kami…” (QS. Al An’am [6]: 136)
Jadi
orang yang menganggap pembuatan dan persembahan sesajen sebagai
tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap
thaghut.
Wewenang
(menentukan/membuat) hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah.
Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya,
sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah
syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut.
Allah Ta’ala berfirman:
“…(Hak)
hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian
tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus…” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam
ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum,
kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai
ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk, maka hal itu
adalah perbuatan syirik, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq.
Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat
kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini
adalah orang-orang musyrik” (QS. Al An’am [6]: 121)
Kita
mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama
Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum
musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya, “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing
yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang
Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan
tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian
lebih baik daripada sembelihan Allah” [HR. Hakim]
Ucapan
tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju
dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan
penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahwa apabila
mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah
musyrik.
Dan dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab
(tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal
mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut:
- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah
- Mereka telah musyrik
Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah vonis mereka sebagai arbab.
Di dalam atsar yang hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membacakan ayat itu dihadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah
mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian
ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang
telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka itu” [HR. At Tirmidzi]
Jadi
orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran
hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sedangkan
pada masa sekarang, orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan
terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi
berintikan pada penyandaran wewenang hukum kepada kedaulatan rakyat
atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik, maka orang tersebut
tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum muslim. Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan di atas:
“Itu
dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan
sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil…” (QS. Luqman [31]: 30)
Juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Itu
dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan
sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil…” (QS. Al Hajj [22]: 62)
2. Engkau meninggalkannya
Meyakini
perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus
disertai. meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini
pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan
dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak
kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu
syirik, tetapi dengan dalih ‘Maslahat Dakwah’ lalu ia masuk kedalam
sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut.
Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka
ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’
Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Juga firman-Nya Ta’ala tentang Ibrahim ‘alaihissalam:
“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (QS. Maryam [19]: 48)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan
orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia itu tidak dianggap
syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia
ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Dan
siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun disamping ibadah
kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya
tidak dianggap, meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan
Islam lainnya” [Ad Durar As Saniyyah: 1/323, Minhajut Ta’sis: 61].
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Ulama
berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat
dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak
dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar
dan melepaskan diri darinya” [Ad Durar As Saniyyah: 2/545]. Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” [Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah Tauhid].
Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firman-Nya:
“Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepadaNya” (QS. Al Bayyinah [98]: 5).
Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Orang
yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah, maka
dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan
sama saja maksudnya itu baik atau buruk” [Durar As Saniyyah: 9/270].
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya
pelafalan laa ilaaha ilallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa
mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan
syirik, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat)
tidak bermanfaat, atas ijma (para ulama)” [Kitab Taisir]
Syaikh Hamd Ibnu Athiq rahimahullah berkata: “Para
ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a
kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia mengucapkan
Laa ilaaha ilallaah Muhammadur Rasulullah, dia shalat, shaum dan
mengaku muslim” [Ibthal At Tandid: 76].
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya”
Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.
3. Engkau Membencinya
Orang
yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya,
maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah
mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan
tauhid kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alayhissalam.:
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”
Kebencian
terhadap syirik ini harus berbentuk realita (ada tindakan nyatanya,
ed.), yaitu dengan tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang
berlangsung. Sebagai contoh: orang yang hadir di tempat membuat atau
mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan
pelakunya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila
kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka
janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama
mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan
mereka” (QS. An Nisa [4]: 140)
Jadi
orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran
sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan)
dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut.
Seandainya tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.
Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu
berijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah
seorang di antara mereka mengatakan: “Saya menilai apa yang dikatakan
Musailamah itu bisa jadi benar” dan yang lain hadir di mesjid itu tanpa
mengingkari ucapannya seraya pergi darinya”. [Riwayat para penyusun
As Sunan / Ashhabus Sunan]
Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, sistem kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.
4. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, di antaranya:
“…Dan
orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka
mengatakan): “Kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya
mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Sesungguhnya Allah memutuskan di antara mereka di hari kiamat dalam apa
yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan
petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir”. (QS. Az Zumar [39]: 3)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan
siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti
dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi
Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” (QS. Al Mukminun [23]: 117)
Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya:
“…Dan
dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan
dari jalanNya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar,
sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka” (QS. Az Zumar [39]: 8)
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Siapa
yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala
sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya,
sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)
Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah” maksud kalimat tersebut adalah: Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati [Durar As Saniyyah: 291]
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut:
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Orang
yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran
mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” [Risalah Nawaqidlul Islam]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid, kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” [Syarh Ashli Dienil Islam - Majmu’ah Tauhid]
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Dan
sebagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik)
dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak
tanpanya” (Mishbahuzh Zhalam: 28). Beliau berkata lagi: “Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab
(tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh
oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Orang yang
tidak mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dengan pengagungan yang
sebenar-benarnya pengagungan terhadapNya, bahkan dia itu tidak
menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” [Mishbahuzh Zhalam: 29]
Para imam dakwah Nejed berkata: “Di
antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak
mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka
karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman.
Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan
hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku
syirik” [Durar As Saniyyah: 9/291]
Mereka
juga mengatakan: “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan
orang-orang musyrik, dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena
sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan
memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi
mereka” [Ad Durar As Saniyyah: 9/291]
Jadi, takfir
(mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi
dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah
dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan
neo murji’ah. Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij,
justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang
menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan
dakwah para rasul.
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Siapa
yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk ‘aqidah
Khawarij, maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia
tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij,
dia telah mencampakan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain
jalan kaum muslimin” [Mishbahuzh zhalam: 72]
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) ditegakkan hujjah atasnya, maka dia kafir juga.
Orang
yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik, pada umumnya dia lebih
loyal kepada pelaku syirik dan justru memusuhi para muwahhid yang
mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga
banyak yang jatuh dalam kekafiran. Tidaklah sah shalat dibelakang orang
yang tidak mengkafirkan pelaku syirik secara mu’ayyan.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Siapa
yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau
mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim
bahwa: ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil, tetapi tidak mengeluarkan
mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang
yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak
pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya” [Ad Durar As Saniyyah: 10/53]
Ini adalah status minimal, adapun kebanyakannya berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah: “Orang-orang
yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau mengamati
mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan
dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan
munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya.
Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah
bersama kami di Dir’iyah dan Uyainah yang mana mereka murtad dan benci
akan dien ini” [Ad Durar As Saniyyah: 10/92]
5. Engkau Memusuhi Mereka
Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim ‘alayhissalam. Dan para nabi yang bersamanya:
“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Kalian
tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan
RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya,
saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (QS. Al Mujaadilah [58]: 22)
Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya
orang tidak tegak keIslamannya walaupun ia mentauhidkan Allah dan
meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik” [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu At Tauhid: 21]
Permusuhan lainnya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/tauhid, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara
kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (QS. Al Maaidah [5]: 51)
Karena permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman:
“Maka
bunuhlah orang-orang musyrik itu di manapun kalian mendapati mereka,
tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat
pengintaian” (QS. At Taubah [9]: 5)
Semua
ini adalah cara kufur kepada thaghut… dan penjelasan tentang siapakah
thaghut insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.
Akhir kata alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin.